Fokus studi perempuan awalnya menganalisis fenomena perempuan dalam berbagai negara, suku, ras yang mengalami marginalisasi dan subordinasi serta tidak mempunyai kekuatan dalam pengambilan keputusan politik yang semua itu merugikan wanita dalam semua bidang kehidupannya.
Baca Juga: Kelebihan Dan Kelemahan Metodologi Etnografi Apabila Digunakan Sebagai Dasar Penelitian
Sejalan dengan itu, berkembanglah aliran-aliran feminis dengan teori-teori yang di konstruksi atas pengalaman negara, suku, ras atau (konteks) sosial-budayanya.
Ada tiga faktor yang membantu terciptanya gelombang aktivitas feminis, yaitu (1) berkembangnya pemikiran kritis pada tahun 1960-1970an; (2) kemarahan aktivis perempuan yang terhimpun dalam gerakan anti perang, penegakan hak-hak sipil, gerakan mahasiswa yang hanya bertujuan menentang sikap seksis dan liberal di dalam gerakan tersebut; dan (3) pengalaman kaum perempuan dalam menghadapi prasangka dan diskriminasi yang mereka alihkan menjadi tuntutan upah dan pendidikan yang lebih tinggi.
Ketidakadilan sosial terhadap kaum wanita berkaitan dengan konsep seks dan gender, disebabkan karena perbedaan gender (gender differences) yang kemudian menyebabkan ketidakadilan gender (gender inequalities) di dalam kehidupan sosial.
- Teori Feminisme
Teori-teori feminis lahir dan berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (khususnya ilmu sosial-budaya) seperti berkembangnya teori feminis liberal, sosial, Marxis, psikoanalisa, postmodernis, postrukturalis, ekofeminis dan seterusnya. Hal yang sama juga terjadi dalam perkembangan epistemologi feminis yang berkembang mengikuti perkembangan epistemologi, terutama setelah tahun 1960-an.
Setelah tahun 1960-an muncul pemikir-pemikir baru dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan, antara lain Popper, Kuhn, Feyerabend, Polanyi, Lyotard, Foucault, Rorty yang pemikirannya menolak pandangan paradigma positivisme. Para pemikir ini ada yang dimasukkan sebagai pemikir filsafat ilmu pengetahuan baru dan ada pula yang disebut sebagai pemikir postmodern.
Pemikiran para feminis baik pada teori/gerakan sosial-politis maupun dalam bidang epistemology, seperti Sandra Harding, Julia Kristeva, Sneja Gunew, Carolyn Merchan dan lain-lain, mendapat pengaruh yang luar biasa dari pemikiran postmodernis.
Baca Juga: Makna kata sosiologi, konsep-konsep dasar sosiologi dan manfaat mempelajari sosiologi
Karena itu secara gampang sering orang menyamakan studi feminis sebagai gerakan postmodern. Epistemologi feminis didasarkan atas asumsi bahwa ilmu pengetahuan modern tidak terbebas dari kuasa dan kepentingan, yaitu kepentingan teknis dan menguasai alam (sifat laki-laki).
Ilmu pengetahuan modern, menurut Sandra Harding bersifat androsentris, dikembangkan atas pengalaman dan harapan kaum laki-laki, karenanya wajar saja bila kaum feminis mengembangkan ilmu pengetahuan yang didasarkan atas pengalaman dan harapan kaum perempuan.
Epistemologi feminis sejalan dengan prinsip postmodern yang menempatkan upaya penemuan Kebenaran objektif-universal bukan sebagai tujuan utama ilmu pengetahuan. Epistemologi feminis lebih menempatkan kebenaran dalam fungsi rasio-praksis.
Baca Juga: Perspektif Sosiologi Antara Perspektif Struktural Fungsional, Konflik Dan Simbolik Interaksionisme
Epistemologi feminis mengakui keterbatasan perspektif dari berbagai penafsiran, akan tetapi hal ini tidak harus membawa pada relativisme, karena keterbatasan ilmu pengetahuan di sini disebabkan pengakuan perbedaan budaya dan faktor historis, perbedaan pengalaman serta ketidaksetaraan.
Artikel Terkait
Fungsi Positif Perilaku Menyimpang Menghasilkan Konformitas Memperkuat Ikatan Kelompok Menyebabkan perubahan
Kelebihan Dan Kelemahan Metodologi Etnografi Apabila Digunakan Sebagai Dasar Penelitian
Obyek formal dari filsafat dan Hal-hal yang melatarbelakangi perkembangan filsafat sosial ke arah Sosiologi
pendapat Comte tentang tiga tahap perkembangan pemikiran individu masyarakat kebudayaan bersifat universal
Teori kritis dilihat dari persfektif filsafat sosial & Pengelompokkan ilmu pengetahuan menurut Habermas