edukasi

KARBALA, SEJARAH POLITIK ISLAM PALING DESTRUKTIF

Rabu, 9 Agustus 2023 | 17:01 WIB
Ilustrasi peristiwa Karbala yang terjadi pada bulan Muharram. (Pixabay.com/Enkhtamir)

Alhasil pihak Muawiyah mengatakan perjanjian sebelumnya dianggap batal dan lantas memutuskan bahwa Khalifah berikutnya yang menggantikan sebagai pemimpin umat Islam adalah putranya sendiri yang bernama Yazid.

Setelah resmi menjadi Khalifah (sepihak) pada tahun 680, Yazid menulis surat kepada Gubernur Madinah yang intinya menuntut Husein mendukung (Baiat) dan setia kepada kepemimpinannya. Husein pun menolak untuk menyatakan Baiat dukungan kepada Yazid, karena kepemimpinannya dianggap tidak sah dan tidak sesuai dengan perjanjian antara Hasan bin Ali dengan Muawiyah.

Baca Juga: Usai Penelitian Ilmiah, Profesor di London Akhirnya Masuk Islam

Itulah awal mula permusuhan politik antara Husein bin Ali dengan Yazid bin Muawiyah terjadi.

Alasan Yazid bin Muawiyah berperang adalah karena Husein bin Ali tidak setia dan mendukung kepemimpinanya. Sementara Husein bin Ali menganggap kepemimpinan Yazid tidak sah karena mengingkari dan bertentangan dengan perjanjian antara Hasan (kakaknya) dan Muawiyah.

Perang Karbala adalah pertempuran antara pasukan Husein bin Ali melawan tentara Yazid bin Muawiyah. Perang Karbala terjadi di dataran Karbala dekat dengan sungai Efrat (Irak) yang terjadi pada 10 Muharram 61 H bersamaan dengan 10 Oktober 680 M.

Baca Juga: WARNA ISLAM DALAM PANCASILA

Dalam perang yang tidak seimbang ini, Husein terbunuh bersama keluarga, sahabat dan 70 orang pasukannya. Dalam sejarah Islam, pertempuran Karbala dianggap sebagai peristiwa yang menandai perpecahan umat Islam.

Perang Karbala merupakan puncak perselisihan politik kepemimpinan umat Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw, perselisihan dan beda ijtihad terhadap teks (ayat dan hadist) juga diprediksi ikut mewarnainya.


Oleh: M Rizal Aris* 

(Pengamat Politik Islam, Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra Jakarta)

Halaman:

Tags

Terkini