Disisi lain, ada pandangan yang menghendaki Islam sebagai dasar negara, seperti tercermin dari pidato Ki Bagoes Hadikusumo dari Muhamadiyah pada tgl 31 Mei. Pokok argumennya antara lain bahwa “agama merupakan pangkal persatuan”, “Islam membangun pemerintahan yang adil dan menegakkan keadilan, berdasarkan kerakyatan dan musyawarah serta kebebasan memeluk agama”, “Islam tidak bertentangan, bahkan sesuai dengan kebangsaan kita”, “Islam merupakan ajaran lengkap yang menyuruh masyarakat berdasar atas hukum Allah dan agama Islam”. Dan selama periode kolonial, kaum imperialis senantiasa berusaha melenyapkan agama Islam dan hukum Islam.
Dalam perkembangan lebih lanjut, terdapat ketegangan antara pandangan sekuler pemerintah kolonial dalam upaya melumpuhkan potensi perlawanan yang berbasis keagamaan.
Baca Juga: Masa Depan Cerdas Indonesia: Pendidikan Literasi Digital dengan Kolaborasi Multi Pihak
Diujung lain ada pandangan yang menolak gagasan negara Islam, tercermin dari pidato Soepomo, 31 Mei. Dalam pandangannya:
Mendirikan negara Islam di Indonesia berarti tidak akan mendirikan negara persatuan, jikalau di Indonesia didirikan negara Islam, maka tentu akan timbul soal-soal “Menderheden”, soal golongan agama yang kecil, golongan agama Kristen, dan lain-lain… Golongan – golongan agama kecil itu tentu tidak bisa mempersatukan dirinya dengan negara.
Meskipun demikian, penolakan Soepomo akan negara Islam dan dukungannya terhadap pemisahan urusan negara dan agama, tidak membuatnya mengesampingkan dasar ketuhanan. Menurutnya
“Perkataaan negara Islam lain artinya dari pada perkataan negara berdasar atas cita-cita luhur dari agama Islam”.
Perdebatan pandangan antara dua kubu Tersebut, selain karena perbedaan latar pergerakan, juga mencerminkan perbedaan lingkungan pengetahuan (epistemic community) mereka yang menyuarakan ide negara Islam pada umumnya berasal dari lingkungan pendidikan Islam yang kurang bersentuhan dengan wacana negara modern dan nasionaisme kewargaan (civic nationalism).
Baca Juga: Mendukung Otonomi Desa: Program Sekolah Pemerintahan Desa Bogor Angkatan 3 Kini Dibuka
Jalan tengah Pancasila
Secara normatif dan ideologis, hubugan antara Islam dan negara memang telah diharmoniskan oleh Pancasila. Dikatakan harmonis karena negara republik Indonesia ini telah mengakomodir dua kutub ideologi yang bertentangan, yakni nasionalisme sekuler dan nasionalisme Islam, dengan membentuk negara yang berketuhanan. Hal ini bisa terjadi Karena sila pertama Pancasila ialah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sebagaimana ditegaskan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonedia (PPKI) yang berunding pada 17 Juli 1945 , sila ketuhanan yang diletakkan diurutan pertama dari Pancasila memiliki makna signifikan dalam kontek hubungan agama dan negara. Makna ini merujuk pada sila-sila di bawahnya, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan. Serta keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, yang bersifat ketuhanan. Artinya semua prinsip kemanusiaan, persatuan, (nasionalism) kerakyatan (demokrasi) dan keadilan sosial itu merupakan pengamalan dari nilai-nilai ketuhanan. Inilah mengapa Pancasila telah menyelamatkan Indonesia untuk tidak menjadi negara Sekuler dan kekawatiran kaum nasionalis Islam tidak terjadi.
Pada saat bersamaan, dengan memilih kata “ketuhanan” sebagai ganti kata “Allah” dan “Tuhan” , telah menjadikan nilai ketuhanan Pancasila sebagai nilai religius umum yang dimiliki oleh semua agama, termasuk aliran kepercayaan.
PENUTUP.
Salah satu tuduhan yang dikembangkan untuk menolak atau meragukan Pancasila ialah, karena dasar negara ini dianggap sebagai sekuler, tidak
Artikel Terkait
Tips Pendidikan Ampuh Mencapai Jabatan Profesor di Jerman: Ilmu dari Narasumber Berpengalaman
Pencerahan Pendidikan: Monash University Lahirkan Lulusan Unggul dalam Wisuda Perdana di Jakarta
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo Menjadi Pelopor Inovasi dalam Sektor Pendidikan
Langkah Revolusioner: BEI dan Yayasan Bakti Sepak Bola Indonesia Wujudkan Pendidikan Investasi untuk Atlet