“Tidak bisa dua-duanya. Publik butuh pengawasan yang bersih, bukan pengawasan yang bercampur dengan kepentingan pribadi,” pungkas Ihsan.
Pengamat Politik: Ini Soal Integritas dan Motif Politik
Sementara itu, pengamat politik Yusfitriadi menilai praktik rangkap jabatan seperti ini bukan hal baru, namun tetap bermasalah dari sisi etika dan integritas publik.
“Secara hukum, memang organisasi seperti Karang Taruna bukan lembaga negara. Tapi sumber pembiayaannya berasal dari APBD Kabupaten Bogor. Artinya, organisasi itu dibiayai oleh negara, dan itu sudah masuk wilayah konflik kepentingan,” jelas Yusfitriadi.
Ia menambahkan, ketika seorang anggota DPRD memimpin organisasi yang dibiayai pemerintah, maka independensi dan integritasnya sebagai wakil rakyat terancam hilang.
“Dari jutaan warga Kabupaten Bogor, masa hanya segelintir orang yang rangkap jabatan? Ini jelas ada motif politik di baliknya. Kalau Heri Gunawan masih punya integritas, sebaiknya mundur dari salah satu jabatan,” tegasnya.
Yusfitriadi juga mengingatkan, fenomena serupa kemungkinan tidak hanya terjadi pada satu orang.
Ia mendorong DPRD dan Pemerintah Kabupaten Bogor untuk melakukan audit etika terhadap seluruh pejabat publik yang menjabat ganda di organisasi yang dibiayai negara.
“Larangan ini dibuat bukan sekadar aturan administratif, tapi untuk mencegah konflik kepentingan dalam penganggaran, kebijakan, dan penggunaan dana publik,” tutupnya.
Kasus Heri Gunawan membuka kembali perdebatan klasik soal integritas wakil rakyat dan batas etika jabatan publik.
Ketika garis antara pelayanan publik dan kepentingan pribadi menjadi kabur, maka kepercayaan masyarakat terhadap DPRD akan terus menurun.
Masyarakat kini menunggu langkah tegas dari Badan Kehormatan DPRD Kabupaten Bogor untuk menegakkan prinsip etika dan akuntabilitas di tubuh legislatif daerah.
Artikel Terkait
Reses DPRD Kabupaten Bogor Dapil I : Persoalan Banjir di Cibinong Acep Sajidin Ungkap Akar Permasalahannya
Kota Bogor Belum 100 Persen Bebas BABS, 18 Ribu Rumah Masih Buang Limbah ke Sungai