Catatanfakta.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengajukan tuntutan balik terhadap Perhimpunan Korban Mafia Hukum dan Ketidakadilan (Perkomhan).
Mahfud MD merasa tidak puas karena digugat setelah memberikan komentar mengenai keputusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang menunda Pemilu 2024.
Sebelumnya, Perkomhan mengajukan gugatan sebesar Rp1.025.000.000 terhadap Mahfud MD karena dianggap melakukan tindakan hukum dengan komentarnya terkait keputusan PN Jakarta Pusat yang memenangkan gugatan Partai Prima untuk menunda Pemilu 2024.
Baca Juga: IRISH BELLA JENGUK AMMAR ZONI, UNGKAP PERMINTAAN MAAF DAN MENGHORMATI PROSES HUKUM
Mendapat gugatan tersebut, Mahfud MD tidak tinggal diam. Ia menggugat balik Perkomhan dengan tuntutan yang lebih besar, yaitu sebesar Rp5 miliar.
"Dikarenakan mengganggu saya, maka saya akan mengajukan gugatan balik terhadap Perkomhan dalam bentuk gugatan rekonvensi sebesar Rp5 miliar dengan permintaan putusan sementara untuk menyita jaminan," ujar Mahfud dalam keterangannya yang diterima pada Jumat (16/6/2023).
Mahfud menegaskan bahwa keputusan Perkomhan untuk menggugatnya adalah kesalahpahaman. Terlebih lagi, ia tidak pernah mendengar tentang adanya perhimpunan tersebut.
Baca Juga: Hakim Diteriaki Pengunjung, Pada Sidang Kasus Haris Azhar dan Fatia
"Menurut saya, Perkomhan adalah satu organisasi yang tidak pernah saya dengar sebelumnya, namun tiba-tiba mereka menggugat saya sebagai Menko Polhukam ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan tuduhan perbuatan melawan hukum," ujarnya.
"Ia mengatakan bahwa saya melakukan pelanggaran hukum dengan mengomentari putusan PN Jakpus yang memenangkan gugatan Partai Prima untuk menunda tahapan pemilu. Bagaimana mungkin mengomentari putusan pengadilan dianggap sebagai perbuatan melawan hukum?" tambah Mahfud.
Mahfud juga mempertanyakan hak perdata yang dimiliki oleh Perkomhan untuk mengomentari putusan PN Jakpus. Karena setiap hari ada puluhan orang yang mengomentari putusan pengadilan tanpa dianggap melanggar hukum.
Baca Juga: Final Putusan MK Tentang Pemilu 2024 Dilakukan Secara Sistem Proporsional Terbuka
"Saya memang mengatakan bahwa putusan PN Jakpus keliru dan salah kamar. Itu merupakan masalah hukum administrasi yang seharusnya dibawa ke kamar hukum administrasi. Partai Prima sudah kalah dalam proses hukum administrasi di Bawaslu dan PTUN, namun mengapa masih dibawa ke pengadilan negeri? Ini adalah kesalahan," tambahnya.
Ia menjelaskan bahwa hukum pemilu merupakan hukum administrasi negara dan hukum tata negara. Oleh karena itu, hukum tersebut tidak dapat diputuskan oleh pengadilan umum. Bawaslu dan PTUN memiliki kompetensi dalam hal ini.