Catatan Fakta - Dalam hidup bermasyarakat setiap individu diharapkan untuk selalu berperilaku yang konformis yang perilakunya sesuai dengan perilaku yang diharapkan oleh masyarakat. Ketika seseorang tidak berperilaku sesuai dengan harapan masyarakat maka ia di cap memiliki perilaku yang menyimpang .
Topik tentang perilaku menyimpang adalah topik yang banyak mengundang perdebatan di masyarakat, dalam hal menentukan mana perilaku yang dianggap menyimpang, menentukan perilaku mana yang perlu dihukum, siapa pihak yang menentukan, dll.
Apapun konsekuensi sosial suatu perilaku menyimpang apakah difungsional maupun fungsional, perilaku meyimpang bukanlah sesuatu yang mempunyai makna baik atau buruk. Tetapi lebih mengarah pada konsekuensi dari terjadinya perilaku menyimpang, ada yang mengarah pada stabilitas, pemeliharaan dan kelancaran sistem tetapi ada pula yang mengarah terjadinya disorganisasi sosial.
Baca Juga: TREASURE KONSER 2023 DI ICE BSD (TANGERANG)
Apapun kasusnya, perilaku menyimpang adalah sesuatu yang tidak dapat terhindarkan kejadiannya di dalam masyarakat.
Faktor-faktor yang mendefinisikan suatu perilaku bisa dikatakan menyimpang adalah sebagai berikut:
1. Faktor Sosialisasi
Perilaku menyimpang terjadi salah satunya karena ketidaksesuaian pesan, norma, dan nilai yang disampaikan oleh masing-masing agen Sosialisasi atau individu lain.
Individu yang mempelajari perilaku-perilaku tersebut akhirnya tidak merasa bahwa hal tersebut menyimpang, dan menganggap bahwa perilaku yang ia pelajari normal untuk dilakukan.
Contohnya: Merokok yang dilakukan anak-anak yang baru menginjak tingkat SMP dikarenakan sering melihat kakak kelasnya merokok, sehingga mereka mulai tahu rokok lalu mencobanya hingga menjadi kebiasaan, padahal merokok untuk anak dibawah umur tidak baik jika dilakukan.
Baca Juga: Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial dengan Proses Asosiatif dan Proses Disosiatif
2. Faktor Anomie
Secara umum, Anomie dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana masyarakat kehilangan pegangan norma. Anomie adalah suatu keadaan tanpa norma dan tanpa arah, sehingga dalam masyarakat tersebut tidak tercipta kesesuaian antara kenyataan yang diharapkan dan kenyataan sosial yang ada.
Hal ini sering terjadi pada masyarakat yang memiliki banyak norma dan nilai, namun hal itu saling bertentangan. Sehingga yang terjadi kemudian adalah konflik nilai, bukan kesepakatan nilai. Masyarakat menjadi sulit untuk mencari pegangan dalam menentukan arah perilaku yang teratur. Gejala ini sering ditemui pada masyarakat moder