edukasi

WARNA ISLAM DALAM PANCASILA

Selasa, 8 Agustus 2023 | 12:00 WIB
Ilustrasi Islam dalam pancasila

Islami. Benarkah tuduhan itu?

 Anggapan Pancasila merupakan  ideologi Sekuler dilatari oleh beberapa argumen. Pertama, karena Pancasila merupakan pemikiran manusia, bukan wahyu dari Allah. Sejak di sidang Badan Penyelidikan Usaha-usaha Kemerdekaan (BPUPK), panitia 9 hingga Konstituante, penganut pandangan ini sudah ada. Lazimnya mereka lalu mengusung Islam sebagai dasar negara. Alasannya jelas, Pancasila adalah kreasi manusia, sedangkan Islam bersumber dari Tuhan.

Baca Juga: Jawa Barat Genjot TOT Satu Data Keagamaan 2022

 Disidang konstituante, Mohammad Natsir mengembangkan  pandangan ini, menurutnya Pancasila itu sekuler (la Diniiiyyah) karena ia tidak bersumber pada wahyu, akibatnya , dasar negara ini menjadi kertas kosong yang bisa ditulis apa saja, termasuk oleh pandangan yang anti agama. Menangapi hal ini Roeslan Abdulghani menunjukkan bahwa inspirasi Pancasila justru dari Islam, lalu ideologi modern seperti Demokrasi dan sosialisme. Keberadaan nilai ketuhanan sebagai sila pertama menunjukkan sumbangan Islam tersebut.

 Mohammad Hatta memperkuat pandangan ini, menurutnya, di dalam Pancasila, sila ketuhanan menjadi sebab utama (causa prima) bagi sila-sila di bawahnya. Dengan cara ini, Pancasila lalu memiliki dua dimensi : etis dan politik. Dimensi etisnya berasal dari nilai-nilai ketuhanan yang menerangi sila- sila politik. Ini berarti Pancasila bukan ideologi Sekuler, melainkan ideologi religius yang menempatkan ketuhanan sebagai sumber etis bagi prinsip-prinsp kebangsaan kita.

 Kedua, karena Pancasila merupakan dasar negara nasional, bukan negara Islam. Pandangan ini lahir dari paradikma dikotomi antara negara Islam (dar al –Islam) versus negara Kafir (dar al- Kufr). Jika bukan negara Islam ya negara kafir, tidak ada model ketiga yang menengahi dikotomi ini.

Baca Juga: Kolaborasi SMP Islam YAFAC dan MA Ash Shoheh Citeureup di Hari Pahlawan

 Dalam menanggapi hal ini sekali lagi bung Hatta di sidang BPUPK 1945 menyatakan, dikotomi seperti itu sebenarnya tidak berlaku dalam dunia Islam. Dikotomi ini lahir di masyarakat Eropa dalam rangka memisahkan hubungan negara dengan gereja. Karena baik negara maupun gereja memiliki kukuasaan politik, pemisahan agama dan gereja menjadi kebutuhan.

 Sedangkan dalam Islam tidak menganut kependetaan memusat, tidak memiliki struktur politik. Negara berada diwilayah politik, sedangkan politik menjadi wewenang Sultan. Ini berarti, Islam tidak harus menjadi negara untuk menegakkan aturannya. Syariah Islam bisa tegak di masyarakat melalui otoritas ulama, bukan kekuasaan negara. Oleh karena itu menurut Bung Hatta, Indonesia tidak menganut prinsip pemisahan agama dan negara (sekulerisasi), melainkan pembedaan urusan agama dan urusan negara (diferensiasi).

 Islam sebagai agama tidak dipisahkan dari negara, tetapi ia tidak menjadikan negara sebagai instrumen penguatan niai-nilainya. Nilai fundamental Islam, yakni Tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa) menjadi sila pertama  dasar negara, namun Indonesia tidak menjadi negara Islam karena nilai ketuhnan itu juga mewakili teologi agama-agama lain. Dengan cara ini, negara melindungi dan menfasilitasi kehidupan beragama tanpa harus menjadi negara agama.

Baca Juga: KEMENAG HADIRKAN PENDIDIKAN KHUSUS DISABILITAS

 Dibawah panduan nilai-nilai ketuhanan, Pancasila bisa memberikan landasan moral dan filosofi bagi sistem Demokrasi yang hendak kita kembangkan. Penghayatan mendalam yang membuat sila ketuhanan itu memiliki makna dalam realitas kebangsaan dan kenegaraan akan membantu memberikan visi pembebasan bagi masa depan bangsa. Dalam ungkpan Bung Hatta (1956) “Dasar ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita negara kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang  benar, adil dan baik”.

Sila ketuhanan mengajak bangsa Indonesia untuk mengembangkan etika sosial dalam kehidupan publik-politik dengan memupuk rasa kemanusiaan dan persatuan, mengembangkan hikmah musyawarah dan keadilam sosial.

 Dengan demikian, seperti yang dinyatakan Notonagoro (1974) “ Sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa adalah meliputi dan menjiwai sila-sila kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, kedialan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

 

Halaman:

Tags

Terkini