Larangan rangkap jabatan bukan sekadar formalitas, tapi dirancang untuk menjaga independensi kekuasaan legislatif dari pengaruh kepentingan pribadi.
Ketika pengawas anggaran justru menjadi bagian dari lembaga penerima anggaran, fungsi kontrol publik otomatis melemah.
“Independensi itu hilang. DPRD bisa jadi menutup mata terhadap pelaksanaan hibah yang justru dikelola oleh salah satu anggotanya sendiri,”
tambah Yusfitriadi.
Secara legal, belum ada Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Bogor yang secara tegas melarang anggota DPRD menjadi Ketua Karang Taruna.
Namun, ketiadaan aturan bukan berarti kebebasan tanpa batas.
Dalam praktik politik lokal, jabatan sosial seperti ini sering dijadikan alat pengaruh dan konsolidasi elektoral.
Karang Taruna memiliki jaringan struktural di 40 kecamatan, hingga ke tingkat RT dan RW — jaringan sosial yang sangat potensial digunakan untuk membangun basis politik menjelang Pemilu 2029.
Bagi pengamat, penguasaan dua jaringan sekaligus — legislatif dan sosial — adalah simbol bahaya asimetri kekuasaan.
“Publik harus sadar, kekuasaan yang tidak diawasi selalu mencari celah untuk memperluas pengaruhnya,”
ujar seorang aktivis mahasiswa Universitas Djuanda yang menyoroti kasus ini.
Sumber internal di lingkungan DPRD menyebut bahwa Karang Taruna termasuk salah satu organisasi dengan percepatan hibah tercepat tahun ini, berkat dukungan “penuh” dari beberapa anggota dewan.
Jika benar demikian, maka situasi ini bukan sekadar pelanggaran etik, tapi juga bisa menjurus pada penyalahgunaan kewenangan — sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Secara normatif, jabatan Ketua Karang Taruna seharusnya bersifat nonpolitik dan sosial murni.
Namun ketika jabatan itu diisi oleh seorang politisi aktif, nilai-nilai pengabdian sosial menjadi kabur.