Catatanfakta.com -, Jakarta — Ketika mendengar bahwa How to Train Your Dragon (HTTYD) akan dibuat ulang dalam format live-action, banyak penggemar dan kritikus merasa skeptis. Wajar saja, mengingat tren remake animasi ke live-action selama ini lebih banyak menghasilkan kekecewaan ketimbang pujian. Namun, HTTYD versi 2025 justru berhasil membalikkan ekspektasi tersebut dan tampil sebagai pengecualian yang gemilang.
Dirilis 14 tahun setelah versi animasinya yang ikonik tayang pada 2010, remake live-action ini mengejutkan banyak pihak. Bukan hanya karena berhasil menghidupkan kembali kisah petualangan Hiccup dan Toothless, tapi juga karena mampu menerjemahkan emosi dan kedalaman cerita aslinya ke dalam dunia yang lebih nyata, tanpa kehilangan sentuhan magisnya.
Kesetiaan pada Cerita Asli: Sebuah Keputusan Berani
Salah satu kekuatan utama dari How to Train Your Dragon (2025) adalah keberaniannya untuk tetap setia pada naskah aslinya. Di saat banyak remake memilih untuk mengubah elemen cerita demi dianggap lebih “kekinian”, film ini justru menampilkan banyak adegan yang direkonstruksi secara shot-for-shot, nyaris identik dengan versi animasinya.
Baca Juga: BTS FESTA 2025 Momen Haru Ulang Tahun ke-12, Tanda-Tanda Kembalinya BTS dari Hiatus?
Langkah ini mungkin terdengar terlalu aman, bahkan repetitif. Tapi justru di situlah letak keberaniannya. Sang sutradara Dean DeBlois—yang juga mengarahkan versi animasi—kembali diberi kepercayaan penuh untuk menahkodai versi live-action ini. Dengan kontrol kreatif yang luas, ia mampu mengadaptasi cerita selama 125 menit, lebih panjang dari versi aslinya, tanpa terasa membosankan.
Visual Megah, Emosi Terjaga
Aspek visual menjadi nilai jual utama dalam film ini. Dengan menggandeng sinematografer kawakan Bill Pope, DeBlois mampu menghadirkan dunia Berk yang terasa hidup dan memesona. Dari lanskap desa Viking yang bersalju hingga detail desain naga yang luar biasa realistis, semuanya menyatu dalam palet warna dan pencahayaan yang memanjakan mata.
Adegan-adegan ikonis seperti saat Hiccup pertama kali terbang bersama Toothless disajikan dengan efek visual yang memukau dan sinematografi yang dramatis. Meskipun ada beberapa bagian CGI yang terasa kurang halus—seperti saat dialog di atas naga—secara keseluruhan, How to Train Your Dragon (2025) adalah pesta visual yang layak disaksikan di layar lebar.
Baca Juga: Ketika Gen Z Memilih Diam dari Dunia Kerja
Pemeran yang Menghidupkan Cerita
Pemilihan aktor dalam live-action ini juga patut diacungi jempol. Mason Thames yang memerankan Hiccup tampil dengan penuh empati dan semangat petualang, sangat sesuai dengan karakter aslinya. Ia menjadi jantung cerita yang berdetak hingga akhir film.
Nico Parker sebagai Astrid Hofferson tampil tegas namun hangat, memberikan keseimbangan emosional dalam perjalanan Hiccup. Tak kalah mengesankan adalah kembalinya Gerard Butler sebagai Stoick the Vast, yang berhasil membawakan karakter kepala suku dengan karisma dan kedalaman emosional.
Namun, satu nama yang tak kalah bersinar adalah Nick Frost sebagai Gobber the Belch. Ia menyuntikkan unsur komedi sekaligus kebijaksanaan dalam cerita, membuktikan bahwa ia bukan hanya karakter pelengkap, melainkan bagian penting dalam dinamika Berk.
Baca Juga: Robert Kiyosaki Peringatkan Krisis Global: “Perang Saudara Dimulai, Uang Palsu Akan Runtuh”
Musik yang Mengikat Hati
John Powell, komposer dari trilogi animasi HTTYD, kembali dipercaya mengisi musik di versi live-action. Ini adalah keputusan yang sangat tepat. Komposisi musiknya tetap kuat, membangkitkan rasa petualangan, ketegangan, dan haru dalam setiap babak cerita. Powell berhasil mempertahankan jiwa dari HTTYD yang selama ini membuatnya dicintai penggemar, sekaligus memperluasnya dengan aransemen yang lebih matang dan sinematik.
Remake yang Pantas Diapresiasi
Secara keseluruhan, How to Train Your Dragon (2025) bukanlah sekadar “copy-paste” dari versi animasi. Ia adalah surat cinta kepada penggemar lama, dan sekaligus pintu masuk yang megah bagi penonton baru yang belum pernah menyaksikan kisah ini sebelumnya.
Memang, film ini tidak membawa banyak inovasi dalam hal cerita. Tapi di tengah lautan remake yang gagal memahami esensi karya aslinya, HTTYD (2025) justru membuktikan bahwa kesetiaan pada cerita, dikombinasikan dengan teknologi modern dan talenta yang tepat, bisa menghasilkan karya yang tetap memukau dan relevan.
Baca Juga: Kasino dan Jakarta, Saat Perjudian Legal Jadi Sumber Pembangunan Ibu Kota
Bagi siapa pun yang ingin kembali merasakan terbang di langit bersama naga, merasakan haru dan petualangan yang dalam, atau sekadar merindukan dunia Berk yang dulu memikat hati—How to Train Your Dragon (2025) adalah tiket pulang ke rumah yang layak untuk dibeli.
Artikel Terkait
Skandal Fraud Rp 1 Triliun di Bank Woori Saudara, OJK Turun Tangan
Target Infrastruktur Rp1.900 Triliun Era Prabowo, Pemerintah Andalkan KPBU dan Swasta