Catatanfakta.com - Dalam dunia hukum positif Indonesia, peraturan perundang-undangan menjadi pondasi utama.
Namun, ironisnya, keberlakuan peraturan hukum tersebut seringkali tertinggal oleh dinamika perkembangan masyarakat.
Fenomena ini menciptakan kekosongan hukum yang menimbulkan konsekuensi serius terhadap penegakan keadilan.
Baca Juga: Ustadz Derry Sulaiman Memohon Maaf: Kontroversi Kebijakan Tanggapi Pengungsi Rohingya
Suatu tindakan yang merugikan bisa terjadi sebelum adanya ketentuan perundang-undangan, menciptakan situasi yang sulit dan kontroversial.
Dalam menghadapi kekosongan hukum, hakim memiliki peran krusial untuk memastikan keadilan tetap terwujud.
Namun, di balik larangan untuk menolak perkara dengan dalih hukum tidak jelas, hakim terlibat dalam seni penemuan hukum yang menarik.
Baca Juga: Rahasia Sukses Merawat Kulit Eksim di Musim Panas: Tetap Sehat dan Cantik Tanpa Ribet
Menurut Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, pengadilan dilarang menolak perkara dengan dalih kekosongan hukum.
Hakim dituntut untuk menciptakan keadilan dengan mengeksplorasi dan menafsirkan hukum yang berlaku.
Inilah awal dari apa yang dikenal sebagai Konstruksi Hukum dan Interpretasi.
Baca Juga: Ammar Zoni Ditangkap Lagi! Mantan Pengacara Buka Rahasia Tersembunyi
Konstruksi Hukum melibatkan tiga bentuk pemahaman, yaitu Analogi (Abstraksi), Argumentum A Contrario, dan Determinasi (Penghalusan Hukum).