catatanfakta.com - Pandangan itu, Pandangan Sang Nabi yang mulia. Seperti helai-helai cahaya surgawi yang teranyam menjadi satu. Pandangan itu menyiratkan lubuk-lubuk cahaya. Cahaya keberkahan yang melesat secepat yang sang Nabi kehendaki.
Pandangan itu merambah jauh ke dalam jiwa. Ke dalam jiwa yang dicipta untuk mengucapkan lafaz tauhid sejak pertama adzan berkumandang. Pandangan itu, segera memenuhi bilik-bilik ruhani. Mendahului rasa cemas dan takut. Meraih kerinduan para peziarah yang bertandang dari jauh. Rasa haru bergelayut di dalam keheningan ruhani.
Kini, berjuta kaki merangkak menggelincir pelahan. Pelahan dan berat. Mereka tak hanya pernah mendengar bahwa sang Nabi telah dikubur di balik pintu besi itu. Mereka bahkan sudah tahu dan membenarkannya setelah mereka berziarah ke Tanah Madinah.
Baca Juga: Baznas Hadirkan Bantuan 100 Kursi Roda untuk Menjamin Kenyamanan Jemaah Haji di Arab Saudi
Kini penganggapan itu menjadi yakin. Dengan mata kepala dan mata batin menyaksikan. Meski pandangan Sang Nabi melelehkan hati menjadi basah, tetapi rasa malu dan sungkan membuat mereka tidak berani mengangkat kepala dan wajah.
Tak lama lagi, mereka akan segera tiba di atas karpet berwarna abu-abu. Karpet yang melambangkan suci, buruan para ziarah. Karpet yang menunjukkan tempat di mana bersemayamnya Raudhah. Karpet yang menyita perhatian para ziarah sejak mereka mendapat panggilan "pasti" ke Tanah Suci.
Perasaan mereka tercampur aduk. Suasana sukacita dan duka merasuk ke dalam pikiran. Sedih yang mendalam karena ketidaktahuan. Tidak jelas mana yang halal dan mana yang haram. Darah mengalir lewat pembuluh darah dan daging yang pucat. "Rasa-rasanya, darahku telah terharamkan!"
Baca Juga: Mengenakan Pakaian Ihram Sejak Embarkasi, Kisah Nyata Memudahkan Jemaah Haji Gelombang Kedua
Hanya karena cinta kasih dari Rasulullah yang begitu luas, semua tamu diizinkan memasukinya dan meratapi keberadaan Raudhah. Dengan senyum yang khas, sang Nabi menyambut mereka, “Mimbarku terletak di atas telagaku.” (HR. Imam Bukhari dan Muslim)
Semua orang termangu. Suara itu adalah suara Sang Nabi. Mata mereka menutup. Wajah menekurkan. Air mata kebahagiaan dan sukacita merebut untuk menetes dari kelopak mata. Tangan-tangan merendahkan diri kepada penghulu syafaat; Qurrotu A’yun.
Jiwa berbareng mereda. Kerinduan yang begitu lama akhirnya terbayar. Saat ini, mereka tidak hanya membenarkan tapi merasakannya sendiri bahwa Sang Nabi ada di hadapan mereka. Sang Nabi duduk bersama setiap orang yang berziarah. Bukanlah di tempat yang jauh. Tetapi hadir di depan setiap ziarah. Menjadi bagian dari jiwa mereka.
Baca Juga: Haji dengan Visa Non Haji? Syuriah PBNU Putuskan Bukan Kuota, Tapi Cacat dan Berdosa
Semua orang mempunyai waktu dan kesempatan yang sama untuk bertatap muka. Dengan penuh kasih sayang, beliau bertanya tentang keluarga kita satu persatu. Pertanyaan itu disertai perasaan yang menemani selama perjalanan hingga kembali ke Tanah Air.
Kita menjawab dengan isak tangis. Sebutkan dengan jelas nama orang tua, mertua, kakek nenek, guru-guru kita. Suami/isteri, putra dan puteri kita, kakak dan adik kita, kakak dan adik ipar kita, paman dan bibi kita, sahabat kita, dan tetangga kita.
Teman-teman sekolah kita, teman-teman kerja kita, teman-teman bisnis kita, bahkan mereka yang kurang suka dengan kita, dan juga semua orang yang pernah membayangi dan tinggal secara singkat dalam hati kita. Dan Sang Nabi...
Artikel Terkait
Hati-Hati Terkena ISPA atau Dehidrasi, Jemaah Haji Wajib Bawa Obat Ini!
Jemaah Haji, Harus tahu ini !!! Larangan dan Tuntunan Sunnah Ketika Mau Ihram di Tanah Suci
Larangan Spanduk dan Bendera, Saudi Keluarkan Aturan Baru untuk Jemaah Haji di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram
Berburu Pahala dengan Cara Aman dan Nyaman: Tips Unik dari Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH)
Kawal Haji, Aplikasi Terbaru untuk Memantau Calon Jamaah Haji dari Jauh