catatanfakta.com - Tak bisa dipungkiri bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi sorotan publik.
Putusan tersebut memberikan keuntungan bagi partai politik peserta Pemilu 2024 nonparlemen dan partai politik peraih kursi di DPRD baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Namun, dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (RUU Pilkada), DPR RI dan Pemerintah mengusung beberapa perubahan dibanding Putusan MK tersebut.
Baca Juga: Menguak Konstitusi: Sidang MK Bahas UU Keprotokolan vs UUD 1945
Hal ini kemudian menciptakan pertanyaan pada masyarakat, mengapa Badan Legislasi DPR RI dan Pemerintah mempercepat pembahasan RUU Pilkada begitu cepat setelah putusan Mahkamah Konstitusi keluar.
Dari sudut pandang publik, pengesahan perubahan pada RUU Pilkada ini dapat menciptakan dinamika politik yang cukup besar, terutama terkait dengan persyaratan bagi partai politik atau gabungan partai politik peraih kursi DPRD pada pasal 40 ayat 1, yang masih dibahas pada RUU Pilkada.
Jika menilik putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024, pasal 40 ayat 1 tentu saja menjadi sorotan. Putusan tersebut menganulir ketentuan tersebut, karena memberikan peluang kepada partai politik atau gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD kabupaten/kota dan provinsi untuk mengajukan pasangan calon pada Pilkada 2024 dengan jumlah suara sah minimal 6,5 persen.
Baca Juga: Pemberhentian Ketua MK Anwar Usman dan Implikasinya Bagi Peradilan Konstitusi di Indonesia
Dengan demikian, partai politik lain punya kesempatan mengajukan pasangan calon pada Pilkada 2024.
Namun, dalam RUU Pilkada, persyaratan pasal 40 ayat 1 tetap dipertahankan. Pasal ini menyatakan bahwa partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD dapat mendaftarkan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
Hal tersebut kemudian mendapatkan tentangan dari masyarakat, karena dinilai bisa mempersempit pintu gerbang partisipasi politik pasangan calon yang akan bertanding pada Pilkada 2024.
Baca Juga: Jokowi: Momentum Putusan MK Harus Jadi Pendorong Persatuan
Namun, perkembangan terbaru melalui rapat paripurna pada tanggal 22 Agustus 2024, tidak mencapai kuorum sehingga batal menyetujui pengesahan RUU Perubahan Keempat atas UU Pilkada.
Ini menunjukkan adanya dinamika politik yang masih terus berlangsung, termasuk di antaranya adalah upaya revisi terhadap pasal 40 ayat 1 tersebut.