PATI – Awalnya, gelombang protes di Kabupaten Pati dipicu oleh kebijakan Bupati Sudewo yang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen.
Kebijakan ini memicu kemarahan warga, terutama kalangan petani dan pelaku usaha kecil, yang merasa beban hidup semakin berat.
Polemik memanas ketika Sudewo menanggapi penolakan itu dengan pernyataan menantang warga untuk mengerahkan massa besar dan mendemo dirinya.
Ucapan tersebut menjadi pemicu solidaritas dan konsolidasi gerakan di tingkat akar rumput.
Meski Presiden terpilih Prabowo Subianto, melalui Ketua Gerindra Jateng Sudaryono, telah meminta Sudewo membatalkan kebijakan itu — dan permintaan tersebut segera dipenuhi — semangat warga untuk turun ke jalan tidak surut.
Baca Juga: Prabowo Minta Bupati Pati Batalkan Kenaikan PBB 250%, Polemik Sudewo Jadi Sorotan Publik
Eskalasi Persiapan dan Logistik
Hingga Kamis (7/8/2025) malam, logistik untuk aksi 13 Agustus terus berdatangan. Menurut laporan akun Instagram @patisakpore, sudah ada 8.000 dus air mineral yang ditumpuk mengelilingi gerbang Kantor Bupati, dengan ketinggian mencapai 1,5 meter dan panjang sekitar 40 meter. Donasi makanan ringan dan buah-buahan juga membanjiri posko aksi.
Spanduk berisi kritik dan sindiran kepada Bupati Sudewo membentang dari depan Pendopo Kabupaten hingga gedung DPRD.
Pesan-pesan di spanduk menunjukkan bahwa isu yang diangkat warga kini melampaui sekadar pembatalan kenaikan PBB-P2.
Pergeseran Isu: Dari Ekonomi ke Akuntabilitas Politik
Berdasarkan pantauan lapangan dan diskusi di forum-forum warga, tuntutan aksi 13 Agustus setidaknya meliputi:
-
Transparansi Anggaran – Warga mendesak Pemkab Pati membuka detail penggunaan anggaran daerah, termasuk sumber pendapatan dan alokasinya.
-
Etika Kepemimpinan – Tuntutan agar pejabat daerah lebih sopan, santun, dan menghargai aspirasi masyarakat, sebagaimana diingatkan Gubernur Jateng Ahmad Luthfi.
-
Evaluasi Kebijakan Publik – Dorongan agar kebijakan yang mempengaruhi masyarakat luas dibahas secara partisipatif sebelum diputuskan.
-
Pengawasan dari Pemerintah Pusat – Beberapa tokoh masyarakat meminta Kementerian Dalam Negeri lebih aktif mengawasi tata kelola pemerintahan di daerah.
Artikel Terkait
Ada 14 Ribu Rumah Tidak Layak Huni di Kabupaten Bogor, Pemkab Dorong Percepatan Perbaikan
Kota Bogor Diusulkan Jadi Kota Hijau Pertama di Asia, Dedie Rachim Siap Ajukan ke UNESCO