Catatanfakta.com -, Jakarta – Bagi sebagian orang, duduk di pesawat selama lima jam saja sudah melelahkan. Tapi bagaimana jika harus berada di langit selama 18 jam 45 menit, tanpa berhenti, tanpa transit, dari Bandara John F. Kennedy, New York, hingga Bandara Changi, Singapura?
Bagi Madeline Khaw, pramugari maskapai Singapore Airlines, itu bukan sekadar angka. Itu adalah ritme hidup, dedikasi, dan pelajaran soal empati di ketinggian 38 ribu kaki.
Khaw bukan sekadar pramugari biasa. Ia adalah salah satu dari tim kabin yang bertugas secara bergilir dalam penerbangan komersial non-stop terpanjang di dunia. Penerbangan yang mengarungi lebih dari 15 zona waktu ini bukan hanya menguji stamina fisik, tapi juga ketahanan mental. "Seiring waktu, kelelahan itu nyata," ungkap Khaw, dikutip dari Travel & Leisure. "Bahkan bisa memicu hal kecil seperti jerawat hingga rasa lelah yang sulit hilang."
Namun seperti langit yang selalu berubah, dinamika dalam kabin pun tak pernah sama. Dalam satu penerbangan, suasana hati penumpang bisa berubah drastis. “Mereka naik pesawat dalam kondisi segar dan semangat, lalu menjadi lelah, mudah emosional, bahkan frustrasi, sebelum akhirnya kembali ceria menjelang pendaratan,” kata Khaw sambil tersenyum.
Baca Juga: Cinta, Takdir, dan Rahasia yang Terkuak di Kroasia
Bukan Sekadar Layanan, Tapi Kepekaan
Selama hampir dua dekade menjadi awak kabin, Khaw menyadari bahwa pekerjaan ini bukan sekadar mengantarkan makanan atau memberikan bantal. Ini tentang kepekaan terhadap manusia lain—yang sedang jauh dari rumah, atau sedang membawa beban yang tak terlihat.
Suatu ketika, di tengah penerbangan yang panjang, seorang penumpang mengalami kendala teknis saat hendak mengirim email penting. Khaw, dengan sigap, menawarkan bantuan. “Kami akhirnya mengobrol cukup lama. Ia cerita tentang pekerjaannya, keluarganya, bahkan perjalanannya menuju Asia,” kenangnya.
Apa yang bermula dari masalah koneksi Wi-Fi berujung menjadi pertemanan hangat. “Setiap tahun, dia masih mengucapkan selamat ulang tahun padaku,” kata Khaw. “Sungguh mengingatkanku bahwa empati kecil bisa membangun jembatan antarmanusia, bahkan di tengah langit.”
Baca Juga: Kisah Wanita Muda yang Lompat dari Lantai 19
Istirahat yang Tak Pernah Penuh
Banyak yang membayangkan, awak kabin memiliki ruang istirahat yang nyaman. Faktanya, tidur di langit bukan hal mudah. Turbulensi yang datang tiba-tiba, deru mesin yang terus berdengung, hingga tubuh yang harus beradaptasi dengan tekanan udara, membuat istirahat menjadi mewah.
“Awak kabin dibagi ke dalam periode istirahat yang ketat,” jelas Khaw. Tim bekerja dalam shift, memastikan bahwa selama 19 jam penuh, ada tangan-tangan profesional yang siaga—bukan hanya untuk pelayanan, tapi juga standar keselamatan.
“Dari awal bertugas, kami semua sudah saling paham. Tidak selalu harus bicara, tapi kami tahu, kami harus saling andalkan,” lanjutnya. “Itu yang membuat 18 jam terasa bisa dilalui.”
Baca Juga: Di Balik Pintu Polda Jatim, Khofifah Diperiksa Sebagai Saksi Dana Hibah
Melewati Langit, Menyentuh Hati
Penerbangan dari JFK ke Changi bukan sekadar rute. Ia adalah ruang waktu yang panjang, tempat orang-orang merenung, bertemu, melepas, bahkan berubah. Bagi Khaw, setiap penerbangan adalah cerita baru, wajah baru, dan kesempatan baru untuk berbagi energi positif.
“Kadang saya bertemu ibu muda yang berjuang menenangkan bayinya, atau pebisnis yang gelisah akan pertemuan besar besok pagi,” kata Khaw. “Dalam kabin, semua sama. Semua ingin tiba dengan selamat—dan sedikit lebih tenang.”
Terbang dan Bertumbuh
Saat ditanya apakah ia bosan menjalani rute ini berkali-kali, Khaw menggeleng. “Di ketinggian itu, kamu tak cuma mengantar orang dari titik A ke B. Kamu juga tumbuh, belajar, dan menyaksikan bagaimana manusia menghadapi ruang dan waktu yang sangat panjang.”
Baca Juga: Puncak yang Bersih: Langkah Tegas Satpol PP Bongkar TPS Ilegal
Dan setiap kali pesawat menyentuh landasan di Singapura, Khaw merasa lega—dan bersyukur. "Saya tahu, saya telah menjadi bagian kecil dari perjalanan besar seseorang."
Artikel Terkait
Prabowo Berfoto di Barisan Depan KTT BRICS 2025, Indonesia Diakui Sebagai Pemain Kunci Global
My Chemical Romance Bakal Tampil di Jakarta Mei 2026: Headliner Hammersonic Festival ke-10!