Ade Armando dan Eko Kuntadhi juga menyampaikan pandangan bahwa Dedi Mulyadi punya pendekatan yang berbeda dari kepala daerah lain.
Mereka menilai viralnya tindakan Dedi di media sosial bukan semata pencitraan, melainkan bentuk komunikasi langsung ke publik, yang makin relevan di era digital.
Namun tidak semua sepakat. Kritik tetap mengalir, terutama terkait kebijakan pembongkaran bangunan ilegal, pelarangan study tour, dan seragam sekolah yang menuai pro dan kontra. Salah satu yang dikritik adalah proses tanpa landasan hukum yang jelas atau tanpa prosedur yang lengkap.
Baca Juga: Ribuan Doa Mengudara: Rudy Susmanto Iringi 435 Jamaah Haji Bogor Menuju Tanah Suci
“Kalau pembongkaran dilakukan tanpa peringatan 30 hari dan tidak melalui proses yang benar, itu bisa jadi tindakan sewenang-wenang,” kata Kang Tony.
Ia juga mengingatkan agar Gubernur Dedi Mulyadi tidak melihat warga yang dikritiknya sebagai musuh, melainkan bagian dari rakyat yang harus dilindungi.
Di sisi lain, Bupati Indramayu Luki Hakim yang turut hadir, belum sempat memberikan pernyataan secara panjang lebar dalam segmen pertama acara. Namun kehadirannya membuka ruang untuk klarifikasi langsung kepada publik.
Diskusi yang juga dihadiri mahasiswa dari UIN Jakarta dan Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia ini memunculkan satu pertanyaan kunci: apakah gaya kepemimpinan Dedi Mulyadi adalah bentuk gebrakan nyata atau sekadar pencitraan politik jelang kontestasi selanjutnya?
Jawabannya masih menjadi perdebatan. Namun yang pasti, Dedi Mulyadi telah berhasil menciptakan gaya kepemimpinan yang tak biasa, di mana batas antara kerja nyata dan konten viral menjadi semakin tipis.
Artikel Terkait
Jokowi Datangi Polda Metro Jaya, Laporkan Empat Orang Terkait Tuduhan Ijazah Palsu
Pertama dalam Sejarah, MQK Nasional dan Asia Tenggara 2025 di Sulawesi Selatan Lomba Menggunakan Digital