Jakarta, catatanfakta.com - Pandemi Covid-19 yang telah berkepanjangan akhirnya berlalu, membuka pintu lebar bagi Indonesia untuk kembali menjalankan ibadah haji secara optimal.
Tahun 2023 ini, Indonesia mendapat kuota penuh sebanyak 221 ribu kursi, menghapuskan pembatasan-pembatasan yang selama ini menghambat para calon jamaah.
Namun, di balik angka-angka ini, ada cerita menarik tentang skema adil dalam pengelolaan dana haji yang perlu diperhatikan.
Baca Juga: Haji Sekali Seumur Hidup? Usulan Menko PMK Timbulkan Pro dan Kontra
Seiring dengan pembukaan pintu ibadah haji yang lebih lebar, ada 5,3 juta calon jamaah yang telah lunas membayar sebesar Rp 25 juta sebagai syarat mendapatkan nomor antrean.
Namun, masa tunggu antrean bagi mereka berkisar antara 20 hingga 40 tahun. Ini adalah tantangan besar yang harus dihadapi dalam mengelola dana haji.
Sejak tahun 2017, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2014 dengan tugas utama mengembangkan dana jamaah.
Baca Juga: Lebih dari 120 Ribu Jemaah Haji Indonesia Kembali ke Tanah Air, Sisanya Innalillahi !
Sebelumnya, pengelolaan dana jamaah dilakukan langsung di bawah Kementerian Agama. Menurut catatan BPKH, total dana kelola haji per 23 Januari mencapai Rp 166,911 triliun, meningkat dari saldo awal pada 2021 sebesar Rp 158,79 triliun.
Peningkatan ini juga diikuti oleh kenaikan nilai manfaat pada tahun 2022 sebesar Rp 10,13 triliun.
Kepala BPKH, Fadlul Imansyah, menjelaskan bahwa perolehan nilai manfaat ini melebihi target yang telah ditetapkan. Ini adalah tanda positif dalam pengelolaan dana haji.
Dana haji ditempatkan di berbagai instrumen investasi, termasuk perbankan, surat berharga negara, sukuk, emas, dan investasi langsung lainnya. Hingga Desember 2022, sekitar Rp 48,97 triliun ditempatkan di bank.
Yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana menjaga agar dana haji tetap dalam tren positif. Ongkos haji terus meningkat dari tahun ke tahun, misalnya, pada 2010, Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) ditetapkan sebesar Rp 34,5 juta, sedangkan pada 2022, biaya tersebut telah meningkat hingga 2,6 kali lipatnya.
Selain itu, beban ke dana manfaat juga semakin besar. Sejak 2010 hingga 2022, terjadi kenaikan beban rasio nilai manfaat dari 13 persen menjadi 60 persen.