Catatanfakta.com -, Jakarta – Musisi sekaligus dokter Tompi melontarkan kritik tajam terhadap sistem pengutipan royalti musik yang dijalankan oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Menurutnya, mekanisme yang sudah berlangsung sejak lama itu tidak transparan, tidak adil, dan menjadi akar dari kisruh royalti musik yang belakangan semakin memanas di Indonesia.
“Sistem yang dipakai oleh LMK untuk mengutip, enggak jelas. Mereka enggak bisa tunjukin angka yang benar. Dasarnya apa? Membaginya bagaimana? Nah, itu saya rasa yang bikin orang, ya, beberapa bulan terakhir jengah kan akhirnya,” kata Tompi seperti dikutip dari detikPop, Senin (25/8).
Tompi menegaskan, persoalan royalti musik ini sebenarnya bukan hal baru. Sejak lama, sistem yang berlaku sudah menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan musisi. Namun, menurutnya, ada semacam “pembiaran” dari pihak terkait sehingga masalah itu terus menumpuk hingga akhirnya meledak menjadi polemik.
“Sebenarnya memang enggak pernah baik dari dulu. Cuma, ya itu, ada semacam pembiaran. Pembiaran yang dibungkus dengan semangat seolah-olah memihak kepada kesejahteraan musisi, pencipta lagu ataupun yang perform. Tapi pada dasarnya, kita melihat pembiaran,” ucapnya.
Baca Juga: Demo DPR 25 Agustus 2025 Ricuh: Massa Sempat Masuk Tol, Polisi Tembakkan Gas Air Mata
Sistem Lama Dinilai Usang
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur pembayaran royalti bagi para pencipta lagu melalui sistem kolektif. Mekanisme itu dilaksanakan oleh LMK dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagai penyalur dana yang dihimpun dari penggunaan karya musik, misalnya untuk konser, kafe, restoran, hotel, hingga platform digital.
Sistem tersebut menggunakan metode blanket license atau lisensi menyeluruh. Artinya, pelaku usaha cukup membayar sejumlah biaya tetap kepada LMK, lalu dana tersebut akan dibagikan kepada pencipta lagu berdasarkan rumus tertentu.
Namun, seiring perkembangan zaman, sistem ini dinilai semakin tidak relevan. Banyak musisi mengaku hanya menerima nominal kecil meski lagunya diputar atau dibawakan berulang kali di berbagai tempat.
Indra Lesmana, misalnya, menyampaikan keresahan serupa melalui unggahan di Instagram Story. Ia menilai blanket license adalah produk era pra-internet yang kini sudah tidak sesuai dengan realitas industri musik digital.
“Sekarang musik bisa dipantau secara digital. Jadi kenapa masih pakai sistem lama yang enggak transparan?” demikian salah satu kritik yang beredar di kalangan musisi.
Baca Juga: Tren Editing Foto 2025: Efek Minimalis Jadi Gaya Favorit Gen Z di Media Sosial
Alternatif Sistem Baru
Beberapa musisi akhirnya mencoba sistem pembayaran royalti yang berbeda. Penyanyi Anji, misalnya, pada Desember 2023 mengaku memilih metode direct license atau pembayaran langsung. Melalui cara ini, pihak yang menggunakan lagu wajib bernegosiasi dan membayar langsung kepada pencipta atau pemilik hak cipta, tanpa melalui LMK.
Tompi sendiri mendukung langkah digitalisasi dalam pengelolaan royalti. Menurutnya, teknologi seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mencatat pemakaian lagu secara real time, lalu membagikan royalti secara lebih adil.
“Digitalisasi akan membuat semuanya lebih jelas. Berapa kali lagu diputar, siapa yang menggunakan, dan berapa yang harus dibayar. Itu bisa diverifikasi dengan data, bukan sekadar asumsi,” ujarnya.
Baca Juga: 10 Tips Fotografi Smartphone Agar Hasil Foto Setara Kamera Profesional
Artikel Terkait
Breaking News: Gempa Bekasi Malam Ini Bikin Panik Warga, Magnitudo 4,9
BMKG: Gempa 4,9 SR di Bekasi Kedalaman 10 Km, Warga Diminta Waspada