Proyek Wisata Premium di Pulau Padar Picu Polemik, Warga dan Lingkungan Terancam

photo author
- Jumat, 8 Agustus 2025 | 19:32 WIB
Gambar Labuan Bajo, sebuah kota kecil di ujung barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, tidak hanya terkenal sebagai gerbang menuju Taman Nasional Komodo.  (Getty Images)
Gambar Labuan Bajo, sebuah kota kecil di ujung barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, tidak hanya terkenal sebagai gerbang menuju Taman Nasional Komodo. (Getty Images)

CATATANFAKTA.COM -, LABUAN BAJO – Rencana pembangunan proyek wisata premium di Pulau Padar, kawasan Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, menuai sorotan publik. Kekhawatiran muncul karena proyek ini dinilai berpotensi mengancam ekosistem alam, habitat komodo, serta keberlangsungan hidup warga lokal.

Pulau Padar, yang telah tercatat sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO sejak 1991, selama ini masuk zona konservasi dengan aktivitas manusia terbatas. Namun, proyek yang akan dibangun di lahan seluas 274,13 hektare—sekitar 19,5 persen dari total luas pulau—memicu protes dari berbagai kalangan. Rencananya, akan ada 619 unit fasilitas, termasuk 448 unit vila.

Izin Usaha Berlaku 55 Tahun

Mengutip DetikTravel, izin pembangunan fasilitas ini dimiliki oleh PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE) sejak 2014. Izin tersebut berlaku hingga 55 tahun, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.796/Menhut-I/2014 yang ditandatangani Siti Nurbaya pada September 2014.

Baca Juga: Kota Bogor Diusulkan Jadi Kota Hijau Pertama di Asia, Dedie Rachim Siap Ajukan ke UNESCO

Pemerintah mewajibkan PT KWE menyusun dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pada 2021, serta berkonsultasi dengan Komite Warisan Dunia atau IUCN untuk setiap rencana pembangunan.

Janji Pembangunan Ramah Lingkungan

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menegaskan, setiap pembangunan di Pulau Padar harus melalui environmental impact assessment yang melibatkan UNESCO. Ia berjanji pembangunan tidak akan menggunakan bangunan permanen, melainkan model yang dapat dipindahkan untuk meminimalkan dampak pada lingkungan.

“Kami akan memeriksa kembali pembangunan fasilitas ini, dan kami mengapresiasi respon publik terhadap isu ini. Tujuan utama taman nasional adalah konservasi, sehingga pemanfaatan wilayah harus berdasarkan kajian dan dampak lingkungan,” ujar Antoni.

Baca Juga: Ada 14 Ribu Rumah Tidak Layak Huni di Kabupaten Bogor, Pemkab Dorong Percepatan Perbaikan

Warga Lokal Tersingkir

Bukan hanya komodo yang terancam, penduduk lokal juga berpotensi menjadi korban. Warga Desa Komodo menilai keputusan ini tidak adil. Mereka menyebut Kementerian Kehutanan hanya memberikan lahan sekitar 27 hektare untuk 2.000 warga, sementara perusahaan mendapat lahan sepuluh kali lipat lebih luas.

Ini bukan kali pertama warga setempat merasa tersisih. Pada 2001, mereka pernah dipindahkan dari perkebunan di Loh Liang demi kepentingan konservasi taman nasional.

Zona Konservasi Berubah Fungsi

Perubahan status Pulau Padar dimulai pada 2012, ketika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengalihkan fungsi 303,9 hektare dari zona rimba menjadi zona pemanfaatan wisata darat. Dari luas tersebut, 275 hektare diperuntukkan bagi kegiatan wisata komersial dan 28,9 hektare menjadi ruang wisata publik.

Baca Juga: Pemkab dan Polres Bogor Target Bangun 500 Dapur Gizi hingga 2026, Perangi Stunting dan Buka Lapangan Kerja Baru

Perubahan ini memicu kritik karena dianggap mengaburkan prioritas konservasi di tengah tekanan pariwisata yang terus meningkat.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Nurhadi.

Sumber: Beragam Sumber

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Peluang Emas Indonesia MasihTerbuka di SEA Games 2025

Sabtu, 20 Desember 2025 | 21:54 WIB
X