CATATANFAKTA.COM -, LABUAN BAJO – Rencana pembangunan proyek wisata premium di Pulau Padar, kawasan Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, menuai sorotan publik. Kekhawatiran muncul karena proyek ini dinilai berpotensi mengancam ekosistem alam, habitat komodo, serta keberlangsungan hidup warga lokal.
Pulau Padar, yang telah tercatat sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO sejak 1991, selama ini masuk zona konservasi dengan aktivitas manusia terbatas. Namun, proyek yang akan dibangun di lahan seluas 274,13 hektare—sekitar 19,5 persen dari total luas pulau—memicu protes dari berbagai kalangan. Rencananya, akan ada 619 unit fasilitas, termasuk 448 unit vila.
Izin Usaha Berlaku 55 Tahun
Mengutip DetikTravel, izin pembangunan fasilitas ini dimiliki oleh PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE) sejak 2014. Izin tersebut berlaku hingga 55 tahun, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.796/Menhut-I/2014 yang ditandatangani Siti Nurbaya pada September 2014.
Baca Juga: Kota Bogor Diusulkan Jadi Kota Hijau Pertama di Asia, Dedie Rachim Siap Ajukan ke UNESCO
Pemerintah mewajibkan PT KWE menyusun dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pada 2021, serta berkonsultasi dengan Komite Warisan Dunia atau IUCN untuk setiap rencana pembangunan.
Janji Pembangunan Ramah Lingkungan
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menegaskan, setiap pembangunan di Pulau Padar harus melalui environmental impact assessment yang melibatkan UNESCO. Ia berjanji pembangunan tidak akan menggunakan bangunan permanen, melainkan model yang dapat dipindahkan untuk meminimalkan dampak pada lingkungan.
“Kami akan memeriksa kembali pembangunan fasilitas ini, dan kami mengapresiasi respon publik terhadap isu ini. Tujuan utama taman nasional adalah konservasi, sehingga pemanfaatan wilayah harus berdasarkan kajian dan dampak lingkungan,” ujar Antoni.
Baca Juga: Ada 14 Ribu Rumah Tidak Layak Huni di Kabupaten Bogor, Pemkab Dorong Percepatan Perbaikan
Warga Lokal Tersingkir
Bukan hanya komodo yang terancam, penduduk lokal juga berpotensi menjadi korban. Warga Desa Komodo menilai keputusan ini tidak adil. Mereka menyebut Kementerian Kehutanan hanya memberikan lahan sekitar 27 hektare untuk 2.000 warga, sementara perusahaan mendapat lahan sepuluh kali lipat lebih luas.
Ini bukan kali pertama warga setempat merasa tersisih. Pada 2001, mereka pernah dipindahkan dari perkebunan di Loh Liang demi kepentingan konservasi taman nasional.
Zona Konservasi Berubah Fungsi
Perubahan status Pulau Padar dimulai pada 2012, ketika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengalihkan fungsi 303,9 hektare dari zona rimba menjadi zona pemanfaatan wisata darat. Dari luas tersebut, 275 hektare diperuntukkan bagi kegiatan wisata komersial dan 28,9 hektare menjadi ruang wisata publik.
Perubahan ini memicu kritik karena dianggap mengaburkan prioritas konservasi di tengah tekanan pariwisata yang terus meningkat.
Artikel Terkait
Pria Penjual Kopi Keliling Tewas Mendadak di Alun-Alun Kota Bogor, Diduga Terpeleset
Gold's Gym Dipolisikan Karyawan dan Member, Diduga Lakukan Penipuan hingga Ratusan Juta Rupiah