Dukungan Internal Kejaksaan
Pendekatan humanis Ester mendapat dukungan dari internal institusi. Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi DIY, Agus Rujito, menegaskan bahwa seorang jaksa memang wajib menegakkan hukum sesuai SOP, tetapi juga tidak boleh melupakan rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat.
“Jaksa harus memperhatikan betul ketentuan yang ada, tapi jangan melupakan rasa keadilan yang tumbuh di masyarakat,” kata Agus.
Ia pun mendorong jajaran jaksa, khususnya di Kejaksaan Negeri Yogyakarta, untuk aktif menerapkan Restorative Justice dengan tetap memegang teguh prinsip akuntabilitas.
Baca Juga: Rahasia Belajar Efektif 30 Menit Sehari: Metode Pintar Tingkatkan Fokus Dan Hasil Maksimal
Antara Harapan dan Tantangan
Restorative Justice dianggap sebagai angin segar bagi wajah hukum Indonesia. Dengan RJ, pelaku tindak pidana ringan yang bertindak karena desakan ekonomi bisa mendapatkan kesempatan kedua. Mereka tidak harus menjalani hukuman penjara yang berpotensi menjerumuskan ke dalam lingkaran kriminalitas lebih dalam.
Namun di sisi lain, RJ juga memiliki tantangan. Konsistensi penerapan menjadi kunci agar keadilan restoratif tidak disalahgunakan. Publik menaruh perhatian besar agar RJ tidak menjadi jalan pintas bagi orang berduit atau berkuasa untuk lolos dari jerat hukum.
Di sinilah peran jaksa seperti Ester menjadi penting. RJ hanya bisa berjalan jika dijalankan dengan ketulusan, integritas, dan keberpihakan pada nilai kemanusiaan yang adil.
Baca Juga: Rekap Politik Global 2025: Gelombang Geopolitik dan Ekonomi — Dampaknya untuk Indonesia Emas
Membuka Cakrawala Baru Penegakan Hukum
Program khusus detikcom bersama Kejaksaan Agung mengangkat kisah-kisah inspiratif jaksa seperti Esterina Nuswarjanti. Diharapkan publik bisa melihat bahwa kejaksaan bukan sekadar institusi penegak hukum, melainkan juga pengawal rasa keadilan sosial.
Kisah Ester membuktikan, hukum yang humanis bukan sekadar utopia. Restorative Justice adalah salah satu wujud nyata bahwa penegakan hukum dapat berjalan berdampingan dengan kasih sayang, empati, dan keadilan yang berorientasi pada pemulihan, bukan dendam.
“Memang benar kata Pak Jaksa Agung, hati nurani itu tidak ada di buku. Hati nurani ada di diri kita masing-masing,” tutup Ester.