Catatanfakta.com -, Jakarta – Pagi itu, 10 Juni 1867, masyarakat Magelang bangun dalam kepanikan. Guncangan misterius membuyarkan tidur lelap mereka saat fajar belum sepenuhnya menyingsing. Tanpa disangka, hari itu menjadi saksi bisu salah satu bencana alam paling mematikan dalam sejarah Jawa.
Pemberitaan koran de Locomotief edisi 20 Juni 1867 menyebut, saat gempa pertama terasa, banyak warga memilih untuk kembali tidur karena kantuk masih menyelimuti. Namun, mereka segera dipaksa bangun saat guncangan kedua menghantam lebih keras. Tanah berguncang hebat, bangunan ambruk, dan suasana subuh yang tenang berubah menjadi horor massal.
Gempa tersebut ternyata tidak hanya dirasakan di Magelang. Getarannya menjalar ke berbagai wilayah seperti Yogyakarta, Semarang, Surakarta, Madiun, hingga Banyuwangi. Yogyakarta menjadi kota dengan kerusakan terparah. Ribuan orang dilaporkan tewas, bangunan runtuh, dan trauma mendalam melanda seluruh lapisan masyarakat.
Baca Juga: Iran Gempur Israel Ledakan Menghantam Tel Aviv, Iron Dome Kembali Diuji
Yogyakarta Porak Poranda
Peneliti sejarah Werner Kraus dalam bukunya Raden Saleh: Kehidupan dan Karyanya (2018) mencatat bahwa gempa tersebut membuat ribuan rumah dan bangunan runtuh, tak terkecuali ikon budaya dan struktur kolonial. Candi Sewu, Tugu Pal Putih, dan benteng-benteng VOC hancur dalam sekejap.
Tragedi ini juga tidak memandang suku dan kelas sosial. Warga Belanda, Arab, Tionghoa, maupun pribumi turut menjadi korban. Kesultanan Yogyakarta dan pemerintah kolonial yang biasanya bersikap otoriter pun turun tangan memberikan bantuan darurat.
Masyarakat, yang dicekam ketakutan akan gempa susulan, memilih tinggal di luar rumah dan menggelar doa bersama serta zikir, berharap keselamatan datang dari Tuhan.
Baca Juga: 3 Orang Dekat Nadiem Diperiksa Kejagung, Dugaan Korupsi Laptop Rp9,9 Triliun Kian Menguat
Skala Besar, Tanpa Tsunami
Belum ada teknologi modern untuk mengukur kekuatan gempa saat itu. Namun, berdasarkan kajian Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gempa 1867 diperkirakan berkekuatan Mw7,8, berasal dari zona dalam lempeng Indo-Australia (intra-slab) di selatan Pulau Jawa.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, menjelaskan bahwa gempa tersebut tidak menimbulkan tsunami karena pusat gempa tidak berasal dari zona megathrust di dasar laut, melainkan dari kedalaman dalam lempeng. Oleh karena itu, meski merusak, tidak ada gelombang laut raksasa yang terjadi.
“Gempa besar ini menjadi salah satu yang paling kuat dalam sejarah Jawa. Korban tewas diperkirakan antara 700 hingga 1.000 orang, termasuk 236 korban jiwa di Surakarta,” tulis Daryono melalui unggahan Instagram yang dikutip pada Sabtu (14/6/2025).
Baca Juga: Gubernur Aceh Tolak Ajakan Bobby Nasution Kelola Bersama 4 Pulau Sengketa 'Itu Hak Kami'
Sejarah Berulang?
Tragedi serupa kembali terjadi pada 26 Mei 2006, ketika gempa berkekuatan M6,3 mengguncang Yogyakarta. Lebih dari 5.000 orang meninggal dunia dalam bencana tersebut, menjadi pengingat bahwa Pulau Jawa berada di wilayah dengan risiko seismik tinggi.
Hingga kini, para ahli terus mengingatkan bahwa zona selatan Jawa masih menyimpan potensi gempa besar bahkan tsunami, akibat tekanan dari lempeng Indo-Australia yang terus bergerak ke bawah Eurasia. Sejarah mungkin tidak bisa dicegah, tetapi kewaspadaan dan kesiapsiagaan menjadi kunci keselamatan.