catatanfakta.com - Ketegangan internal PBNU kembali memanas setelah desakan mundur terhadap Ketua Umum PBNU Gus Yahya disebut datang dari sejumlah Syuriah dan bahkan dikabarkan mendapat restu Rais Aam. Situasi ini membuat banyak pihak teringat pada drama panas Muktamar NU Jombang 2015. Seorang senior NU menyebut, “Aromanya mirip Jombang, hanya wajahnya saja yang berubah.”
Dalam dinamika yang berkembang, kubu tradisionalis yang kuat di Syuriah dinilai mulai mempertanyakan gaya kepemimpinan dan kebijakan progresif Tanfidziyah. Langkah modernisasi dan komunikasi politik PBNU dianggap terlalu maju bagi sebagian ulama daerah. Seorang pengurus wilayah mengatakan, “Beberapa kiai melihat arah Tanfidziyah terlalu cepat berubah.”
Informasi internal menyebut desakan mundur yang menguat itu dikaitkan dengan sikap Rais Aam yang disebut memberi persetujuan. Hal ini memperluas spekulasi bahwa NU sedang berada di fase tarik menarik dua arus besar: kepemimpinan tradisional dan tuntutan pembaruan organisasi. “Ini bukan soal pribadi. Ini soal arah NU ke depan,” ujar seorang pengamat organisasi Islam.
Baca Juga: Elham Yahya Dikecam, PBNU: Dakwah Harus Menumbuhkan Kemuliaan, Bukan Menistakan Martabat
Memanasnya situasi ini langsung direspons Gus Yahya. Ia menolak mundur dan mengambil langkah taktis dengan mengumpulkan PWNU dari seluruh Indonesia. Dalam pertemuan internal itu, ia menegaskan, “Saya tidak akan mundur. NU terlalu besar untuk digerakkan oleh desakan sepihak.” Langkah ini dipandang sebagai upaya memperkuat legitimasi di tingkat wilayah, sekaligus memastikan suara akar rumput tetap terwakili.
PWNU saat ini menjadi elemen penentu di tengah konflik Syuriah–Tanfidziyah. Kekuatan wilayah yang beragam—ada yang tradisionalis, ada yang progresif—membuat konsolidasi ini menjadi momen penting. Seorang ketua PWNU menyebut, “Kami ingin NU tetap stabil. Jangan sampai perbedaan pandangan berubah menjadi perpecahan.”
Situasi ini mengingatkan publik pada ketegangan Muktamar 2015 ketika dua kubu bertarung sengit soal mekanisme pemilihan Rais Aam. Walk out, interupsi, dan perdebatan panas mewarnai forum waktu itu. Kini, setelah satu dekade, bayangan konflik serupa kembali muncul dalam konteks yang lebih kompleks.
Baca Juga: PBNU: Lima Orang Nahdliyin yang Temui Presiden Israel Tanpa Izin dan Mendapat Kecaman
Ekosistem digital, dinamika politik nasional, serta cepatnya reaksi publik membuat pertarungan wacana di NU semakin terlihat di permukaan. Pengamat menilai, “Konflik sekarang jauh lebih rumit. NU bukan lagi organisasi yang bekerja dalam ruang tertutup.”
Desakan mundur membuat sebagian warga NU khawatir akan potensi perpecahan jika tidak dikelola dengan hati-hati. Namun sejarah menunjukkan NU memiliki tradisi menyelesaikan konflik melalui musyawarah. Tantangannya, kali ini tekanan sosial dan politik jauh lebih besar dibanding setelah Jombang.
Meski belum ada keputusan final, drama internal PBNU saat ini disebut sebagai salah satu yang terbesar dalam satu dekade terakhir. Arah NU ke depan akan sangat ditentukan oleh hasil konsolidasi PWNU, langkah Syuriah, dan posisi akhir Rais Aam dalam beberapa waktu ke depan.