Catatanfakta.com -, Jakarta – Di tengah sorotan publik yang kerap memandang hukum di Indonesia tajam ke bawah namun tumpul ke atas, hadir sosok jaksa yang membawa warna baru dalam penegakan hukum. Dia adalah Esterina Nuswarjanti, seorang jaksa yang dikenal dengan pendekatan humanis melalui penerapan Restorative Justice (RJ).
Bagi Ester, hukum bukan hanya soal menghukum, melainkan juga menyentuh sisi kemanusiaan. “Kalau Tuhan saja mengampuni, masa manusia tidak bisa mengampuni,” ujarnya dalam sebuah wawancara dengan detikcom. Kalimat sederhana itu mencerminkan prinsip yang ia pegang teguh: keadilan sejati harus berangkat dari hati nurani.
Restorative Justice, Jalan Tengah Keadilan
Restorative Justice (RJ) sendiri merupakan pendekatan hukum yang berorientasi pada pemulihan keadaan, bukan sekadar vonis penjara. Dalam praktiknya, jaksa memediasi antara korban, pelaku, dan pihak-pihak terkait agar tercapai kesepakatan damai. Syaratnya, korban telah memaafkan, kerugian dipulihkan, dan pelaku mengakui kesalahan.
“Misalnya korban tadinya luka, lalu sembuh dan sudah memaafkan. Itu kan artinya sudah pulih, tidak lagi merasakan sakit yang sama,” kata Ester.
Penerapan RJ mendapat landasan hukum sejak keluarnya Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020. Aturan ini memberi kewenangan kepada jaksa untuk menghentikan penuntutan perkara pidana tertentu demi mewujudkan keadilan restoratif, terutama bagi masyarakat kecil yang sering kali terjerat kasus karena keterpaksaan.
Baca Juga: Mindset Juara: Belajar Bukan Sekadar Nilai
Membela yang Kecil Tanpa Membiarkan Salah
Dalam pandangan Ester, menghukum memang mudah. Jaksa tinggal menuntut, lalu perkara selesai. Namun di balik prosedur itu, ada pertanyaan besar: apakah keadilan benar-benar tercapai?
“Ya memang dia salah, dia sudah mengakui kesalahannya. Tapi bukan berarti dia harus dicap sebagai penjahat seumur hidup. Kita upayakan bagaimana supaya para terdakwa bisa kembali ke jalan yang benar dan tidak dikucilkan masyarakat,” jelasnya.
Pernyataan ini menegaskan bahwa RJ bukan upaya membela kesalahan, melainkan mencari titik keseimbangan antara tegaknya hukum dan terjaganya martabat manusia.
Mengedepankan Hati Nurani
Menurut Ester, RJ tidak bisa dijalankan hanya dengan hitungan prosedur. Proses ini menuntut empati, kepekaan nurani, serta komunikasi intensif dengan berbagai pihak.
“Sidang itu gampang, sidang tuntut selesai. Tapi RJ itu butuh hati nurani. Harus ada dialog, harus ada pemahaman latar belakang pelaku. Tanpa itu, keadilan tidak akan pernah menyentuh sisi kemanusiaannya,” paparnya.
Dalam pelaksanaannya, Ester bahkan melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, hingga tetangga pelaku. Tujuannya sederhana: memastikan bahwa penyelesaian damai benar-benar tulus dan dapat diterima oleh semua pihak.
“Kita ajak bicara tokoh agama, karena mereka tahu keseharian pelaku. Kita juga dengarkan masyarakat sekitar. Jadi kita tidak asal putuskan. Dari situ biasanya akan terbuka semua,” tambahnya.
Baca Juga: Rahasia Belajar Efektif 30 Menit Sehari: Metode Pintar Tingkatkan Fokus Dan Hasil Maksimal